网上资料 : https://en.wikipedia.org/wiki/Sukuh Sukuh (Indonesian: Candi Sukuh Indonesian pronunciation: [ˈtʃandi ˈsukʊh]) is a 15th-century Javanese-Hindu temple (candi) that is located on the western slope of Mount Lawu (elev. 910 m (3000 ft)) on the border between Central and East Java provinces.
Sukuh temple has a distinctive thematic reliefs from other candi where life before birth and sexual education are its main theme. Its main monument is a simple pyramid structure with reliefs and statues in front of it, including three tortoises with flattened shells and a male figure grasping his penis. A giant 1.82 m (6 ft) high of lingga (phallus) with four balls, representing penile incisions,[1] was one of the statues that has been relocated to the National Museum of Indonesia.
网上资料 : https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Ceto Candi Cetho (ejaan bahasa Jawa: cethå) merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.
Sampai saat ini, komplek candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/Kejawen.
Sangiran adalah sebuah situs arkeologi di Jawa, Indonesia. Area ini memiliki luas 48 km2 dan terletak di Jawa Tengah, 15 kilometer sebelah utara Surakarta di lembah Sungai Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung Lawu. Secara administratif Sangiran terletak di kabupaten Sragen dan kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Pada tahun 1996 situs ini terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO. Tahun 1934 antropolog Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald memulai penelitian di area tersebut. Pada tahun-tahun berikutnya, hasil penggalian menemukan fosil dari nenek moyang manusia pertama, Pithecanthropus erectus ("Manusia Jawa"). Ada sekitar 60 lebih fosil lainnya di antaranya fosil Meganthropus palaeojavanicus telah ditemukan di situs tersebut. Di Museum Sangiran, yang terletak di wilayah ini juga, dipaparkan sejarah manusia purba sejak sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah. Di museum ini terdapat 13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia. Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu. Pada awalnya penelitian Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan pada masa lampau. Sangiran mencakup beberapa lapisan tanah/formasi tanah. Yang tertua adalah formasi "kalibeng" formasi ini diperkirakan berumur 3 juta - 1,8 juta tahun yang lalu. Pada formasi ini terdiri atas 4 lapisan yaitu lapisan bawah merupakan endapan laut dalam dengan ketebalan lapisan ini 107 meter
"Prambanan" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain dari Prambanan, lihat Prambanan (disambiguasi). Situs Warisan Dunia UNESCO Candi Prambanan Nama sebagaimana tercantum dalam Daftar Warisan Dunia
Negara Indonesia Tipe Budaya Kriteria i, iv Nomor identifikasi 642 Kawasan UNESCO Asia Pasifik Tahun pengukuhan 1991 (sesi ke-15) Candi Prambanan atau Candi Rara Jonggrang adalah kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan. Candi ini terletak di desa Prambanan, pulau Jawa, kurang lebih 20 kilometer timur Yogyakarta, 40 kilometer barat Surakarta dan 120 kilometer selatan Semarang, persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[1] Candi Rara Jonggrang terletak di desa Prambanan yang wilayahnya dibagi antara kabupaten Sleman dan Klaten. Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya dengan candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter menjulang di tengah kompleks gugusan candi-candi yang lebih kecil.[2] Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia.[3] Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, di masa kerajaan Medang Mataram.
Candi Sewu adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 yang berjarak hanya delapan ratus meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi Sewu berusia lebih tua daripada Candi Prambanan. Meskipun aslinya terdapat 249 candi, oleh masyarakat setempat candi ini dinamakan "Sewu" yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini berdasarkan kisah legenda Loro Jonggrang.
Secara administratif, kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Candi Lumbung adalah salah satu kompleks percandian Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di sebelah candi Bubrah. Meskipun demikian, Candi ini telah masuk ke wilayah Jawa Tengah, yaitu di Kabupaten Klaten. [1] wikimapia
Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[1] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma). Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.[2] Para peziarah masuk melalui sisi timur memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam.[3] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.[4]
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[5][6][7]
Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur.7°36′17,17″LU 110°13′48,01″BT
Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak tahun 2004.
Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali.[rujukan?] Kota Magelang dan Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari puncaknya. Di lerengnya masih terdapat pemukiman sampai ketinggian 1700 m dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak. Oleh karena tingkat kepentingannya ini, Merapi menjadi salah satu dari enam belas gunung api dunia yang termasuk dalam proyek Gunung Api Dekade Ini (Decade Volcanoes).[1]
Dieng has an extraordinary natural and cultural wealth. One of the icons is Telaga Warna (the Colorful Lake), a beautiful lake with natural forest around it.
TELAGA WARNA Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo
Despite centuries of sleep, Dieng has several volcanic craters that are still active until now. One of the most interesting is Sikidang Crater, a heaven for sulfur miners which supposedly likes to jump and move.
KAWAH SIKIDANG Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara
Nasi liwet is a kind of food from Solo, Central Java. Rice is usually cooked in water, but nasi liwet is rice cooked in coconut milk and chicken broth, thus give the rice rich and succulent taste. This is a traditional Javanese way of cooking, from the past until now. In the past, the pan used for cooking was made of clay. The taste will be more delightful if it is cooked on a wood fire, but different regions have different ways of preparing it. Nasi liwet is usually served together with opor ayam (chicken in a mild white coconut milk based sauce), telur pindang (eggs boiled slowly with spices), and labu siam (chayote/choko) as the vegetable. Traditionally, it is served on a banana leaf or teakwood leaf. Frequently, people prefer teakwood leaves to plates, because of the fragrance of the leaf. It is believed that the fragrance will increase one's appetite. Nasi liwet complements (side dishes) always consist of coconut milk. In Solo, it is usually eaten for breakfast, but also for lunch. In Keprabon district, nasi liwet is only served at nighttime.
Gudeg is a traditional food from Yogyakarta and Central Java, Indonesia. Gudeg is made from young Nangka (jack fruit, called gori) boiled for several hours with palm sugar, and coconut milk.Additional spices include garlic, shallot, candlenut, coriander seed, galangal, bay leaves, and teak leaves, the latter giving a reddish brown color to the dish.It is also called Green Jack Fruit Sweet Stew. Gudeg is served with white rice, chicken, hard-boiled egg, tofu and/or tempeh, and a stew made of crisp beef skins (sambel goreng krecek). There are several types of gudeg; dry, wet, Yogyakarta style, Solo style and East-Javanese style. Dry gudeg has only a bit of coconut milk and thus has little sauce. Wet gudeg includes more coconut milk. The most common gudeg comes from Yogyakarta, and is usually sweeter, drier and reddish in color because of the addition of teak leaves. Solo gudeg from the city of Surakarta and is more watery and soupy with lots of coconut milk and whitish in color because teak leaves are generally not added. The East-Javanese style of gudeg has a spicier and hotter taste compared to the Yogyakarta-style gudeg (which is sweeter). Gudeg is traditionally associated with Yogyakarta, and Yogyakarta is sometimes nicknamed "Kota Gudeg" (city of gudeg). The center of Yogyakarta gudeg restaurants is in the Wijilan area to the east side of the Yogyakarta Kraton (Sultan's palace).